“Demo masyarakat di Tabanan karena air beji (pancuran) mengering sejak adanya perusahaan air kemasan yang beroperasi gelap-gelapan, hanya contoh kecil betapa air telah menjadi rebutan. Demikian pula penolakan masyarakat Padangkerta atas izin eksplorasi air bawah tanah (ABT) untuk perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) juga menjadi peringatan, betapa air akan menjadi barang langka di tengah ‘’perburuan’’ perusahaan air kemasan dan PDAM. Tak hanya itu, hal tersebut juga akan mengancam ketahanan pangan Bali, sebab banyak mata air ditampung untuk memenuhi kebutuhan perusahaan air kemasan” begitulah petikan berita di Bali Pos, Kamis 17 Januari 2013.
Masih dengan tema yang sama pada tanggal 16 Januari 2013 Bali Pos menulis sebuah artikel dengan salah satu bagian beritanya sebagai berikut. “BALI memang mengalami krisis air hebat dan setiap saat selalu dirundung persolaan krisis air. Kekeringan secara ilmiah telah menjadi perbincangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Sejak 1995, KLH memprediksi Bali akan mengalami defisit air sebanyak 1 miliar meter kubik/tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai sekitar 27,6 miliar meter kubik per tahun pada tahun 2015. Tidak hanya itu, Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan Universitas Udayana juga menyebutkan pada 2015 Bali mengalami kekurangan air bersih mencapai 1.500 liter per detik”
Ketika membaca artikel tentang krisis air yang diulas Bali Pos pada tanggal 16 Januari 2013, saya merasa sedikit tercengang sekaligus tidak percaya, apakah ini memang sebuah hasil penelitian atau hanya sekedar propaganda semata. Bali sebagai salsh satu destinasi wisata memang memiliki berbagai potensi pemanfaatan yang berlebihan, tetapi saya tidak pernah menyangka akan ada krisis sumber daya alam (SDA) terjadi di bali, yang secara langsung tidak berhubungan dengan pariwisata Bali.
Di bali air tidak hanya digunakan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi juga merupakan bagaian yang tidak terpisahlan terhadap proses keagamaan yang merka lakukan sehari-hari. Di bali ada 4 danau, yaitu Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Belandingan, kesemua danau ini disucikan dan dianggap sebagai sumber air yang menghidupi masyarakat bali. Untuk menyucikan setiap danau ini, dibangulah sebuah pura, yaitu Pura Hulundanu (Hulu = Utara/atas), selain itu disetiap sumber-sumber air biasanya akan dibangun pura tertentu sebagai salsh satu cara untuk melindungi sumber air tersebut karena sumber air itu akan dimanfaatkan untuk proses keagamaan.
Dalam sebuah kajian ilmiah, perencanaan dan
penataan Kawasan Ubud, seorang perencana lulusan ITN Malang, Made Sudiarta
pernah menulis bagaimana pentingnya arti sebuah air bagi masyarakat bali. Dalam
kajiannya, beliu mengungkapkan bahwa kepentingan air bagi masyarakat bali
adalah sebagai salah satu proses pembentuk budaya masyarakat bali. Salah satu
organisasi tradisional yang telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia
oleh UNESCO adalah subak. Subak ini adalah organisasi yang secara berkala
memanfaatkan sumber air untuk proses pertanian di bali. Organisasi ini
memanfaatkan air dengan cara yang sangst baik, dengan mengangkat filosofi
Hindu, yaitu Tri Hita Karana yang melalui proses inilah kemudian kebudayaan
bali itu terbentuk. Sehingga tidak salah kalau kemudian, dalam kajiannya itu
dijelaskan bahwa pertanian adalah akar dari sumber kebudayaan masyarakat Bali.
Ketersediaan dan keberadaan air di Bali menjadi salsh satu akar pembentuk
buduya, pemenuh kebutuhan hidup dan juga bagian dari proses ritual keagamaan
yang mewajibkan masyarakat dan pemerintah bali untuk tetap menjaga dan
melastarikan air.
Begitu besarnya manfaat air di bali bagi masyarakat, tetapi kini dihadapkan pada kenyataan bahwa bali mulai mengalami krisis air. Tentu ini menjadi salah satu pukulan telak tidak hanya bagi pemerintah, tetapi lebih besar terhadap masyarakat bali sendiri. Sehingga tidak salah kemudian berbagai organisasi masyarakat baik tradisional ataupun organisasi lain (LSM) mulai melakukan penolakan besar-besaran terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang memberikan ijin terhadap berbagai perusahaan air minum untuk mengekspolari berlebihan terhadap sumber-sumber air di bali.
Dalam kondisi ideal, pulau balai masih akan mengalami krisis air akibat pola hidup masyarakat yang masih kurang peduli terhadap keberadaan lingkungan. Hal ini diotambah lagi dengan eksplorasi air pada sumber-sumber air dan air tanah. Tentu ini akan semakin memperparah kondisi keairan bali. Bahkan perusahaan daerah (BUMD) PDAM, mulai beralih fungsi dengan menjual air terhadap perusahaan-perusahaan dengan memanfaatkan sumber air yang ada. Hal ini tentu tidak hanya akan memperparah krisis air, tetapi juga krisis aktifitas pertanian yang bisa berdampak terhadap krisis pangan. Dalam sebuah artikel yang dimuat di Media Indonesia Tanggal 24 September 2012, menyebutkan bahwa angka alih fungsi lahan pertanian di bali adalah sebesar 800-1000 Hektar setiap tahunya. Dengan kondisi seperti ini apalagi yang tersisa dari Pulau Bali ini? Ketika pariwisata telah berhasil menggerus aktifitas pertanian dan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi akomodasi wisata, besarnya pajak di lahan pertanian memaksa petani tidak lagi betah untuk bertani, kini ditambah lagi air untuk proses pertanianian telah disedot oleh Perusahaan air minum dan PDAM untuk dijual, sehingga mereka tidak lagi bisa melakukan proses bertani, tentu tidak salah kalau dibilang sebentar lagi bali akan sekarat.
Tidak salah kemudian kalau Dr. Ir. I
Nyoman Merit, M.Agr selaku ketua forum DAS Bali mengkritik kebijakan pemerintah
yang terlalu longgar memberikan ijin usaha-usaha air minum. Bahkan dalam
pandangan beliau, pemerintah seharusnya membatasi pemanfaatan mata air untuk
keperluan perusahaan air kemasan. Upaya pembatasan, menurutnya, sangat
diperlukan demi menjaga suplai air untuk keperluan irigasi tidak terganggu.
Termasuk menjaga Bali dari ancaman krisis air. Hal ini senada dengan pemikiran ahli
sumber daya air Drs. R. Suyarto, M.Si. Menurut beliau pengambilan air bersih
untuk AMDK sejatinya tidak terlalu bermasalah jika memakai air sungai yang
langsung mengalir ke laut. Namun, eksplorasi AMDK akan mengganggu jika
mengambil dari air tanah atau mata air yang seharusnya mengalir ke sawah.
Saya sependapat dengan pemikiran kedua ahli di
atas, bahwa harus ada evaluasi dan control yang ketat dari pemerintah baik
pusat maupun provinsi terhadap perusahaan air minum dan kemasan yang ada di
bali. Tidak hanya ketat terhadap proses perijinanya, tetapi juga proses dan
tempat eksplorasinya. Jangan sampai pemanfaatan sumber-sumber air yang menjadi
sumber untuk proses irigasi justru dimanfaatkan untuk diekxplorasi oleh
pereusahaan air minum ini. Selain itu usaha-usaha konservasi dan rehabilitasi
terhadap terhadap sumber-sumber air dibali harus terus digalakan selai juga
tentunya pemerintah harus mulai lebih kreatif untuk mengembangkan pemanfaatan
air laut sebagai sumber air untuk kebutuhan air minum dan air kemasan tentunya.
saya setuju, bahwa pemerintah seharusnya sedikit lebih ketat untuk memberikan ijin untuk perusahaan air minum yang ada di bali
BalasHapusSebenarnya ini adalah dualisme yang harus dihadapi oleh pemeritah dan masyarakat. Disatu sisi dibutuhkan adanya penghasilan disis lain itu bertentangan dengan konsep pembangunan berelanjutan.
BalasHapusKalo istilah balinya rwe binede :)
@ Anonim : Terimakasih
BalasHapus@ Dedik : dualisme boleh saja terjadi, dan itulah gunangnya pemerintah memiliki staf ahli untuk menghitung secara menyeluruh. Sebenarnya mana yang lebih menguntungkan (tentunya dihitung sampai dampak sosial, tidak hanya secara ekonomis)
Revitalisasi dan pelestarian sumber-sumber air harus dilakukan. Terutama pada ke empat danau di Bali.
BalasHapus