“Hajatan”
yang diadakan tiap tahun yang dikomandoi oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan sepertinya penuh dengan “trik dan intrik”. Hampir semua mata tertuju
pada persoalan yang sangat memalukan, yaitu “ujian nasional ditunda”.
Ini adalah “barang baru” sangat baru di indonesia, mungkin inilah salah satu
isu terbesar yang terjadi di tahun 2013 ini, yang bisa mengalihkan semua isu
politik lainnya, bahkan aksi dukungan “Harlem Shake Pasti Kerta” sama sekali
tidak kelihatan gaungnya dibandingkan persoalan pendidikan ini.
Prof. Dr.
Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA tentu menjadi orang yang paling bertanggung jawab
untuk persoalan ini. Tapi, saya tetap menaruh rasa simpati, karena bagaimanapun
juga beliau adalah rektor saya dulu ketika masih kuliah di ITS. Gebrakan yang
menurut saya berlebihan itu telah menjerumuskannya pada persoalan pelik yang
tidak pernah dialami bangsa ini. Persoalan yang menurut saya sebenanrnya sangat
kecil tapi dibesar-besarkan. Kalau kita mau jujur, apa sih efek negatif dari
mundurnya ujian nasional? Kenapa ini kemudian diangkat menjadi sesuatu yang
begitu bombastis? Saya setuju kalau ini adalah salah satu persoalan yang tidak
layak terjadi, tetapi bukan persoalan besar yang layak untuk menjadi trending
topik hapir lebih dari 2 minggu terakhir ini. Dalam beberapa acara talk show
yang yang disiarkan langsung dalam beberapa stasiun swasta mencoba mengkaji dan
menelaah lebih jauh tentang persoalan ini, dengan mengundang berbagai
narasumber yang katanya “ahli dibidangnya”. Kesimpulan dari talk show tersebut
sangat terbaca, “Menyalahkan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sejadi-jadinya”.
Saya sangat
tergelitik, karena saya sendiri merasa agak berlebihan rasanya kemunduran ujian
dianggap sebagai suatu kesalahan fatal. Mungkin benar, tapi buat saya ada yang
lebih fatal dari keterlambatan ujian, yaitu sistem kurikulum. Saya heran,
kenapa gebrakan kurikulum yang akan diterapkan mulai tahun 2013 justru sama
sekali tidak diangkat ke permukaan, padahal substansi dari persoalan kurikulum
kita jauh lebih penting dan mendasar untuk diungkap lebih jauh. Apakah para “ahli”
itu buta? Atau, persoalan kurikulum ini kurang “menjual” untuk ditayangkan
dalam talk show? Apapun jawabannya, nyatanya negeri ini tidak peka untuk
persoalan yang secara substantif jauh lebih penting dan mendasar.
Saya
terdorong untuk mendiskusikan persoalan pendidikan ini lebih jauh dengan “pakarnya”.
Kalau yang saya lihat di televesi adalah “ahli”, maksudnya ahli menunjukan diri
di televisi, sedangkan “pakar” yang saya maksud adalah orang yang terjun secara
langsung dengan dunia pendidikan, yaitu kakak saya sendiri, kebetulan dia
bekerja sebagai guru fisika di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bangli. Ada
hal yang menarik jika saya membicarakan dunia pendidikan dengannya, karena saya
punya kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, bahkan untuk hal-hal yang sangat
jarang menjadi pemikiran orang pada umumnya. Seperti pada artikel “Bahasa Balidan Budaya Bali” dan “Adilkah Sistem Evaluasi dan Perankingan Anak Sekolah diNegeri Ini?”, banyak hal-hal baru dan diluar pemikiran pada umunya muncul
sebagai bentuk pemikiran dan diskusi.
Menurut
saya, “kesalahan terbesar Kemendukbud adalah, terlambatnya sosialisasi sistem
barcode untuk ujian yang dilakukan sekarang dan perencanaan yang kurang matang dalam
realisasi sitem percetakan untuk banyaknya paket soal dan sistem ujian yang
akan dilakukan”.
Pendapat
saya ditanggapi dingin dan agak ketus, “iya, Kemendikbud kurang matang dalam
perencanaan untuk percetakan tapi tidak untuk sosialisasi. Apa bedanya
sosialisasi satu tahun sebelum ujian atau 2 bulan sebelum ujian? Toh, sebagai
siswa tugas dan kewajiban mereka adalah belajar. Mereka diberi kesempatan untuk
belajar selama 3 tahun, apakah waktu yang begitu lama bisa dibandingkan dengan
sebuah sosialisasi yang baru dilakukan H-2 bulan? Kalau sosialisasi dijadikan
alasan, sehingga mereka tidak bisa menjawab soal ujian, rasanya sudah layak
mereka tidak lulus!”
“Sistem
ujian seperti ini sebenarnya adalah sebuah terobosan yang jenius. Bayangkan!
Adanya barcode akan meminimalisir kemungkinan siswa untuk mencontek, karena
mereka tidak tahu harus mencontek siapa? Toh juga semua siswa yang ikut ujian
akan kebingungan dengan paket soal yang mereka dapatkan. Untuk mendukung
kejeniusan sistem ujian ini adalah, dengan meningkatkan pengawasan pada saat
pelaksanaan ujian. Tentu faktor teknis ini menjadi salah satu faktor penentu
suksesnya sistem ujian ini. Karena dengan kecanggihan teknologi, siswa bisa
menggunakan perangkat gadget mereka untuk membaca kode, kemudian berkomunikasi
ke sesama teman atau dengan pihak lain, yang pada intinya adalah sebuah
kecurangan dalam pelaksanaan ujian. Bahkan kalau perlu, paket ujia jangan hanya
21 paket, tetapi bisa sampai 100 paket soal, tiap kelas ujian, tidak harus
dengan jumlah paket yang sama, ini untuk menghindari kemungkinan kecurangan.
Tapi tentu ini harus didukung dengan perencanaan yang lebih matang dari
Kemendikbud, jangan sampai hal serupa terjadi dikemudian hari akibat dari jumlah
paket soal yang terlalu banyak, seperti alasan yang diungkapkan oleh salah satu
percetakan yang gagal melakukan pengiriman tepat waktu”.
Dari diskusi
singkat tersebut saya bisa memahami dan membuat satu kesimpulan, bahwa sistem
yang dijalankan oleh Kemendikbud merupakan ide brilian untuk kemajuan sistem
pendidikan indonesia, tapi sayang ide ini belum didukung dengan perencanaan
yang matang, kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya fatal tidak dipertimbangkan,
sehingga satu kesalahan kecil bisa berdampak pada kemunduran ujian nasional.
Sungguh disayngkan bukan, bagaimana sistem yang baik bisa menjadi buruk di
tanga yang salah!
Komentar
Posting Komentar
Silahkab berikan tanggapan anda !