Adilkah Sistem Evaluasi dan Perankingan Anak Sekolah di Negeri ini?

Image


Ketika masih menjadi anak sekolah (dari SD sampai SMA), prestasi selalu dilihat dari ranking yang mereka dapatkan di sekolah. Tidak jarang orang tua yang marah pada anaknya karena anak mereka tidak pernah dapat ranking di sekolahnya.

Image
Apa itu rangking ? Kenapa harus mendapatkan ranking ? Apakah kecerdasan seseorang hanya dilihat dari rangking yang mereka peroleh?

Beberapa pertanyaan di atas muncul begitu saja di kepala saya, ketika suatu hari saya merenungkan pernyataan adik sepupu saya "Kak, saya ga dapet rangking 1, saya kalah sama temen saya". Dalam hati sebenanrnya saya bertanya "kenapa harus dapat rangking? ada apa dengan rangking dek?". Tapi saya masih bisa menahan diri agar tidak membuatnya semakin kecewa. 

Saya mulai merenungkan bagaimana sebenarnya sistem evaluasi yang dilakukan di sekolah. Ada beberapa mata pelajaran dimana siswa disuruh untuk belajar semua mata pelajaran tersebut. Kemudian di akhir semester akan ada ujian yang menjadi evaluasi pemahaman mereka terhadap meta pelajaran yang sudah diajarkan. Hasilnya berupa kumpulan angka yang menunjukan tingkat pemahaman masing-masing siswa terhadap masing-masing pelajaran. Angka-angka itu kemudian dijumlahkan untuk semua mata pelajaran dan hasil penjumlahan akan digunakan sebagai dasar dalam memberikan rangking terhadap siswa yang mereka didik. 

Wowwwww.... Tidakah ada yang salah disini. Jujur saya melihat ada beberapa kekeliruan disini, kenapa siswa disuruh mempelajari begitu banyak mata pelajaran? Kenapa sistem evaluasinya begitu sederhana? 

Berhubung pada artikel ini saya hanya ingin membahasa tentang sistem evaluasi, bagian pertama pertanyaan di atas saya hilangkan. Bagian itu tidak perlu dibahas. 

Guru disekolah menjadikan rangking sebagai acuan tingkat kecerdasan siswa. Siswa yang rangking 1 adalah yang paling cerdas dan yang ada di belakangnya lebih bodoh. Siswa dipaksa memahami filosofi ini sebagai suatu metode evaluasi yang sah dan benar. Siswa dipaksa berlomba untuk menjadi rangking 1, tetapi dengan cara yang sangat tidak adil.

Image
 
Kenapa saya bilang tidak adil?

Adilkah jika seoarang anak tidak suka IPS dipaksa untuk dapat nilai IPS besar hanya karena dia ingin mendapat rangking 1? Adilkah anak yang tidak suka IPA dipaksa untuk dapat nilai IPA besar hanya karena anak tersebut ingin mendapatkan rangking 1? Jelas itu tidak adil. Jangan memberikan dogma yang keliru seperti itu pada siswa. Jangan jadikan rangking sebagai patokan untuk menilai kecerdasan anak. 

Diluar negeri para ilmuan berlomba-lomba melakukan riset untuk mengetahui potensi kognitif seorang anak, semenjak dia masih bayi. Apa yang mereka lakukan ini sebagai upaya untuk mengarahkan kecerdasan mereka sekaligus memaksimalkan apa yang menjadi potensi mereka. Dengan demikian anak yang berpotensi di IPA tidak akan dipaksakan memahami IPS seperti dia memahai IPA. Inilah yang disebut sebagai optimalisasi potensi anak. Anak diberikan kesempatan yang sebesar-besanya untuk mengoptimalkan apa yan gmenjadi minaknya. Berikan dia kesempatan untuk menjadi yang terbaik pada minatnya tersebut. Jangan berikan dia kompetisi untuk emnjadi rangking 1 diluar minatnya. Apa yang menjadi sistem evaluasi di sekolah, seolah-olah tidak ada artinya untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada anak didik di negeri ini. Yang akan terjadi kemudian justru tekanan mental. Pendidikan moral yang seharusnya menjadi dasar untuk diajarkan menjadi bahan paling memuakan bagi para peserta didik. Sehingga apa yang terjadi kemudian adalah kemerosotan moral bangsa ini.  

Image

 Selanjutnya sistem penilaian. Disini terlihat bagian yang sangat tidak adil. Saya memahami ketidak adilan ini setelah merenungkan cukup lama sistem penilaian sampai berujung pada pemberian gelar rangking. Adik sepupu saya berkata kepada saya "Saya kalah dari temen saya, karena nilai IPS dan Bahas Indonesia saya lebih jelek". Saya coba menbandingkan ketika saya kuliah dengan ketika adik saya sekolah. Saya kualiah dengan beberapa mata kualiah. Setiap mata kuliah punya nilai yang berbeda (SKS). Satu mata kuliah bisa ber SKS 4 bisa juga 2. Apa itu SKS? 1 SKS berarti 1 jam masa kuliah (biasanya 45) menit dengan proses-proses yang telah disepakti antra dosen dan mahasiswanya. Anggap saja ketika saya mendaptkan mata kuliah kalkulus (4SKS), artinya dalam seminggu saya mendapatkan 4 jam masa kuliah untuk kalkulus. Anggap saja misalnya saya dapat nilai B (3), sehingga total nilai kalkulus saya adalah 4x3 = 12. Begitu seterusnya dengan mata kuliah lainya. Sehingga ketika di total, itulah hasil evaluasi saya selama 1 semester. Bandingkan dengan adik sepupu saya, setiap mata pelajaran memiliki rentan nilai yang sama. Semisal dia ujian matematika 10 soal, ketika 1 soal salah dia dapat 9, ketika dia ujian IPS 10 soal, ketika dia salah 3 soal, maka dia dapat nilai 7. 

Adilkah???? 

Sangat tidak adil. Kenapa???

Apakah jam mata pelajaran untuk mata pelajaran IPS dan Matematika sama? Tidak, jam untuk matematika hampir 2 kali lebih banyak dari jam IPS yang dia dapat. Kenapa kemudian Matematikanya tidak dikali 2? Padahal dia butuh waktu yang lebih banyak untuk belajar matematika dibandingkan dengan IPS. Kenapa cara memberikan nilainya tetap sama? Sangat tidak adil tentunya. Bahkan saya sampai memberikan solusi padanya "Kalau adek pengen rangking 1, ya sedikit aja belajar Matematika sama IPAnya, fokus belajar sma IPS dan Bahasa, kenapa harus serius belajar IPA dan Matematik, kalau itu tidak membantu menaikan nilai adek". Terdengar sangat klise saran yan saya berikan, tetapi itu merupakan suatu bentuk kekecewaan terhadap bagaimana cara guru memberikan nilai pada siswanya.

Saya rasa, sistem evaluasi ini perlu diperbaiki, bukan karena adik saya tidak dapat rangking, tetapi lebih pada optimalisasi sistem pendidikan di negeri ini. Tidak hanya pada cara memberikan nilai tetapi juga susbstansi mata pelajaran itu sendiri.

Komentar

  1. Baru kepikiran. Ternyata memang selama ini sistem evaluasi dan sistem ranking justru sangat tidak fair. Bagus artikelnya

    BalasHapus
  2. Artikel ini sungguh menarik,tapi,bagaimana halnya dg siswa yg Terpaksa tidak bisa ikut JAPRES (Jalur Prestasi) saat mau mendaftar perguruan tinggi. Ia tidak bisa ikut jalur tersebut krn tidak punya informasi tentang ranking di kelas SMA akibat dihapusnya sistem ranking. Padahal ia memiliki kompetensi dan peluang untuk diuji. akhirya peluang itu hilang, semestara sekolah di pelosok yang masih menggunakan sistem ranking, biarpun kualitasnya lulusan kurang,jadi terdongkrak dan bisa mengikuti seleksi jalur pretasi. Adilkah??

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkab berikan tanggapan anda !