Modal Sosial Atau Modal Politik Joko Widodo?


Image


Hanpir 3 bulan masa kepemimpinan Joko Widodo di Jakarta. Perubahan besar telah terjadi. Bukan kemegahan Ibu Kota Jakrta yang megah, bukan juga sukses mencegah dan mengatasi banjir atau bahkan kemacetan. Tapi perubahan yang jauh lebih mendasar, bukan perubahan kecil yang hanya Nampak oleh mata. Tetapi sebuah fondasi untuk membangun sebuah system yang kuat. Jokowi berhasil menciptakan Good Governence dengan melibatkan masyarakat sebagai koalisinya.

Jika sebagian “orang” mencibir aksi blusukan yang selama ini dilakukan Jokowi adalah sebagai proses pencitraan untuk sebuah modal politik. Saya setuju sekaligus membantahnya. Sebagai seorang pemimpin yang hidup dalam dunia politik, modal politik adalah hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Tapi apakah sesederhana itu? Saya setuju bahwa blusukan yang di lakukan Jokowi akan mendapatkan output berupa modal politik (baca: salah satunya). Tapi tidak sesederhana itu, bukan sebuah pencritraan yang semata-mata hanya mengejar popularitas dan modal politik yang sifatnya jangka pendek.

Saya mencoba menemukan potongan-potongan perjalanan (path finder) Jokowi dari masa kampanye sampai saat ini. Apa yang diungkapkan pada masa kampanye atau mungkin lebih dikenal sebagai visi, misi dan program kerja seorang Jokowi adalah “berkoalisi dengan rakyat”. Kosep dasar inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan untuk membentuk suatu system pemerintahan yang sekarang dijalankan oleh Jokowi. Kemenangan Jokowi-Basuki di pemilukada sejatinya bukanlah akhir perjuangan. Justru itu adalah awal dari perjalanan berat yang akan mereka lalui. Sebagai orang baru yang akan mengubah Ibu Kota Jakarta Jokowi akan dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik di internal pemerintahan. Banyak sekali ahli ketatanegaraan yang kemudian mempertanyakan langkah Jokowi menghadapi belenggu birokrasi yang akan mempersulit visi dan misi Jokowi begitu juga dengan keberadaan DPRD yang dirasa juga akan sangat menyulitkan langkah demi langkah yang akan di ambil Jokowi.

Konsistensi boleh sebagai salah satu upaya “selft defence” yang dilakukan Jokowi. Dia tahu benar bahwa dia bukan orang yang diterima secara baik di birokrasi dan DPRD. Sehingga konsep dasar yang diusung sejak masa kampanye, yaitu berkoalisi dengan rakyat adalah kuncinya. Konsistensi ini bukan sebuah proses pencitraan, bukan juga sebuah proses penggalian modal politik tetapi upaya untuk menciptakan kepercayaan (trust). Selling point jokowi pada masa kampanye adalah pro rakyat dan ketika selling point nya telah berhasil memenuhi target (terpilihanya Jokowi sebagai gubernur) maka langkah selanjutnya adalah tetap mempertahankan selling point tersebut untuk mendapatkan kepercayaan/trust.

Untuk apa kepercayaan?

Modal social. Itulah target utama Jokowi untuk menciptakan sebuah good governence. Bukan koalisi partai, bukan kepercayaan birokrasi dan bahkan bukan DPRD, tetapi kepercayaan rakyat yang menjadi prioritas. Karena disanalah modal social itu berada dan harus sesegera mungkin diraih untuk mendukung good governance yang akan dirancang oleh Jokowi.

Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Kerjasama dan koordinasi ini dibentuk melalui sebuah proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang efisien dan efektif (Cox, 1995). Proses kerjasama inilah yang ingin dibentuk oleh Jokowi melalui sebuah hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

Oleh karena itu, seperti janjinya di masa kampanye dulu, Jokowi langsung menggandeng rakyat Jakarta sebagai mitra koalisinya. Selain berupaya melakukan pendekatan langsung dengan cara-cara seperti blusukan, Jokowi juga menyadari betul arti penting lembaga kemasyarakatan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah pasti tidak akan mampu menangani semua permasalahan jika tidak ada bantuan dari masyarakat, meskipun dengan bergelimangan dana APBD yang dimilikinya.

Berbicara tentang dana pembangunan, tentu Ibu Kota Jakarta tidak perlu khawatir. APBD yang mencapai Rp41 triliun tentu bukan angka yang sedikit. Tapi, uang bukanlah satu-satunya faktor determinan dalam pembangunan. Hal ini disadi betul oleh Jokowi, karena itulah modal sosial (social capital) benar-benar menjadi prioritas untuk digali dan dikembangkan karena modal inilah yang selama ini terlupakan oleh para pemimpin sebelumnya. Modal  sosial inilah yang ia yakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan,  mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan  bersama.

Menarpkan kosepnya Putnam (1995), Jokowi berusaha merangkul kepercayaan rakyat Jakarta dengan mempertahankan konsistensi untuk berkoalisi dengan rakyat melalui aksi-aksi blusukan. Bukan mencari citra positif, bukan sekedar agenda untuk mewujudkan janji kampanye, tetpi untuk berinteraksi lebih banyak dengan rakyat, mendengarkan persoalan-persolan yang dihadapi oleh rakyat dan mau mendengarkan rakyat. Hal ini memberikan dampak yang luar biasa, rakyat merasa benar-benar dihargai, rakyat merasa di dengarkan. Disinilah interaksi dan kerjasama antara rakyat dan pemerintah terbentuk sehingga menjadi kekuatan bagi pemerintah untuk menciptakan good governance.   

Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal  sosial memegang peranan yang  sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial mempunyai pengaruh yang  besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal  sosial antara lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan  bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan  kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat  dimanfaatkan untuk kesejahteraan.

Di Istora, Jokowi sempat curhat kepada para tokoh masyarakat. Dengan lugas, mantan walikota Solo itu bercerita soal MRT. Jokowi menjelaskan mengapa proyek MRT tak kunjung diputuskan kelanjutannya. Semua hal diungkap, tidak ada yang ditutup-tutupi. Transparansi memang menjadi warna tersendiri dari kepemimpinan Jokowi-Basuki. Bahkan rapat-rapat dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang biasa dipimpin oleh Ahok turut ditayangkan di Youtube, sehingga bisa diketahui semua warga. Dengan adanya transparansi kepada publik, maka kepercayaan (trust) dari masyarakat kepada Pemprov DKI Jakarta pun meningkat. 

Kekuatan inilah yang sebenarnya sedang dibangun di Jakarta, perubahan besar yang selama ini terlupakan oleh pemimpin-pemimpin lainya.



Komentar