Budaya Contek Masal saat UNAS

Belajar

Perayaan tahunan di dunia pendidikan (baca: unas) menjadi salah satu pertaruhan dan uji “kelayakan dan kepatutan” bagi siswa (baca: SMP dan SMA) selama mengenyam proses pendidikan tiga tahun terakhir. Diluar konteks dan substansi kurikulum yang sudah baik atau belum, sudah selayaknya ujian ini menjadi salah satu alat ukur (baca: evaluasi) bagi siswa yang sudah mengenyam pahit manisnya pendidikan selama tiga tahun. Meskipun banyak pihak (yang menganggap dirinya ahli) beranggapan ujian nasional tidak efektif dan tidak adil dijadikan tolak ukur untuk kelulusan. “Seharusnya kelulusan ditentukan oleh guru yang mengajar, bukan ditentukan oleh pemerintah melalaui proses ujian nasional!”, kira-kira seperti itulah pentikan beberapa pihak tersebut. Menarik untuk dikaji lebih jauh!

Pagi ini saya sangat tertarik dengan bacaan di Radar Bali (Jawa Pos Cabang Bali). Pada halaman utama media cetak tersebut, terdapat tiga berita utama yang sangat menarik untuk dibaca: 1. Ada Kongkalikong Bocorkan Unas; 2. Bimbel Pun Bisa Pasok Kunci; dan 3. Rumawan, Pendidikan Jadi Komoditas Politik. Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia memang sedang mengalami “krisis”. Gonjang ganjing persoalan mundurnya pelaksanaan ujian nasional SMA menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi apakah persoalannya selesai sampai disitu?

Sepertinya tidak!

Seperti di lansir dari Radar Bali, Rabu (21/4/2013) edisi cetak, “Praktik kongkalikong alias kemufakatan membocorkan soal agar mendapat target hasil ujian nasional (unas) bagus ternyata tetap berlangsung. Praktik ini ditenggarai sudah bertahun-tahun terjadi di Bali. Alih-alih menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, tapi malah mengajarkan siswa begaimana berbuat curang, mendidik mental korupsi sejak dini”. Beginilah cerminan ujian nasional di negeri ini. Saya setuju dengan beberapa pihak yang kemudian menyimpulkan “ujian nasional sebagai hajatan yang tidak efektif dalam system evaluasi pendidikan di negeri ini”. Bagaimana bisa dibilang efektif, kalau ternyata sebuah proses evaluasi (baca: unas) masih dipengaruhi oleh kepentingan politik

Berdasarkan investigasi yang dilakukan tim Radar Bali, ditemukan aksi contek masal di beberapa sekolah di tiga kecamatan di Kabupaten Tabanan. Berdasarkan investigasi, ditemukan modus contek masal adalah sebagai berikut:

Pertama, ada target kelulusan maksimal dari kepala daerah (baik kota/kabupaten) yang kemudian dilimpahkan kepada kepala Dinas Pendidikan masing-masing.

Kedua, melalui kepala dinas pendidikan (kadisdik), setiap kecamatan membentuk tim khusus yang terdiri dari guru-guru mata pelajaran yang diujikan. Guru yang dipilih berasal dari sekolah negeri atau favorite. Mereka mengerjakan soal pada malam hari sebelum unas dimulai esok hari.

Ketiga, soal diambil sebelum dibagika! Tindakan ini sangat mungkin sepengatahuan pihak disdik, karena tidak ingin sekolah di wilayahnya nilainya jeblok.

Keempat, soal yang sudah dikerjakan kemudian disebar ke semua sekolah se-kecamatan. Yang bertugas mengambil kunci jawaban adalah kepala sekolah atau delegasi sekolah. Dini hari mereka sudah bergerak dan mengambil kunci jawaban di sekolah yang ditunjuk sebagai korlap.

Kelima, sehari sebelum unas atau pagi sebelum mengerjakan soal, siswa di brifing dan diarahkan agar mencontek dengan baik.

Keenam, kunci jawaban dalam bentuk satu lembar kertas legal memuat semua paket. Siswa tinggal mencocokan antara kunci dengan paket soal yang dikerjakan.

Ketujuh, untuk meyakinkan jawaban benar, sekolah penyelenggara ujian mengambil sampel soal unas secara acak kemudian dicocokan dengan kunci. Pengembalian soal sendiri diketahui pengawas unas.

Kedelapan, setelah unas selesai, guru atau panitia unas kembali meminta kunci jawaban yang sudah diterima siswa.

Kesembilan, untuk menghilangkan jejak, kunci jawaban kemudian dimusnahkan!

Dikutip dari pernyataan Ketua Dewan pendidikan Kota Denpasar, Putu Rumawan, Radar Bali, Rabu (21/4/2013) edisi cetak, “Ini terus terang sangat mengagetkan kalau terstruktur seperti itu. Kalau pendidikan sudah ditarik ke ranah politik, ya seperti ini jadinya!”. Bahkan dalam artikel yang lain disebutkan bahwa pihak bimbingan belajar (bimbel) juga ikut bermain di dalamnya. Bisa dibilang ini adalah aksi “keroyok” untuk membentuk budaya curang sejak dini. Dengan melihat fakta yang terjadi di lapangan, “sangat layak” jika unas dianggap tidak efektif, efesien dan malah menurut saya tidak ada gunanya. Jika kepala daerah dengan wewenang penuh bisa melakukan hal “sekeji” itu dan bahkan di bantu oleh “bimbel” maka unas yang sejatinya menjadi proses “sakral” menjadi sebuah perayaan tahunan yang tidak ada gaungnya sama sekali. Jelas secara substansi tidak ada artinya, dan secara kualitas tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi siswa.

Melihat system pendidikan yang terus di godog di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya sempat berpikir bahwa ada kemajuan besar dalam pendidikan kita. Bayangkan bagaimana system unas berubah drastis, mulai dari jumlah paket soal sampai pada sistem paket soal yang menggunakan sistem “barcode”. Ini adalah sebuah terobosan yang luar biasa untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam unas.

Mebayangkan saja sudah terasa “ngeri”, bagaimana ketatnya unas yang akan dilakukan, tapi mungkin akan terasa biasa jika siswa memang mengikuti proses belajar dengan baik dan benar selama tiga tahun di sekolahnya.

Apa sulitnya menjawab 40 soal dalam waktu 2 jam, yang sudah dipelajari selama 3 tahun?

Bukankah itu waktu yang sangat lama, jika dibandingkan dengan soal yang hanya 40 buah? 

Apa memang sesederhana itu, kalau kita mau objectif menilai proses pendidikan yang selama ini berjalan di negeri ini, memang selayaknya kecurangan itu akan selalu terbiasa. Proses pendidikan yang tidak dijalani dengan baik tidak mungkin memberikan hasil yang baik, alhasil siswapun akan sangat keberatan untuk mengerjakan unas. Sayangnya, kegagalan yang “membudaya” di dunia pendidikan justru diikuti oleh birokrasi pemerintah daerah. Demi “baik” banyak sekali kepala daerah yang kemudian membudayakan kecurangan yang terstruktur.

Apakah ini kesalahan sistem pendidikan?

Pernah terdengar isu penghentian status Sekolah Bertaraf Internasioanl! Salah satu alasannya adalah indikasi tingkat kelulusan sekolah biasa dan sekolah yang berstatus Sekolah Bertaraf Internasional.

Sekalai lagi apakah ini kesalahan sistem pendidikan?

Pada dasarnya memang ada beberapa bagian dari sistem kurikulum yang akan direalisasikan di tahun 2013 memiliki beberapa kekeliruan (baca: menurut saya pribadi). Tapi jika kita coba objektif melihat proses pendidikan dan evaluasi yang dilakukan sejauh ini, saya rasa sistem pendidikan sudah berjalan dengan benar, hanya saja ada beberapa bagian penting dalam pendidikan yang ternyata kurang mendapatkan perhatian.

Pemerintah  

Disadari atau tidak pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan proses pendidikan yang baik. Tidak seperti peran guru-guru di sekolah, pemerintah lebih banyak berperan dalam kebijakan yang mereka buat. Salah satu contoh kecilnya adalah tidak membudayakan “Kecurangan Terstruktur dalam unas”. Kecurangan terstruktur memberikan pelajaran korup di kalangan siswa sejak dini. Mereka terbiasa melakukan kecurangan dan itu dibenarkan oleh sistem yang dibuat oleh pemerintah. Hal-hal kecil seperti ini akan selalu tertanam dan akan menjadi sebuah lingkarang setan yang tidak akan pernah terpecahkan. Saya setuju adanya sebuah sekolah favorit, tetapi tidak dengan otonomi di sekolah favorit tersebut. Biarkan setiap sekolah mendapatkan perlakukan sama, tetapi biarkan mereka berkompetisi menjadi terbaik. Berikan apresiasi dan penghargaan bagi sekolah terbaik, buatlah sebuah sistem sirkulasi bagi tenaga pendidik yang berprestasi. Kembangkan terus sistem koompetisi yang positif dan selalu kawal kompetisi ini agar tidak terjadi persaingan yang negative.

Lingkungan        

Kalau kita mau jujur, sebagian besar waktu siswa ada di lingkungan keluarga. Artinya, orang tua dan lingkungan tepat mereka tinggal menjadi factor penting suksesnya proses pendidikan itu sendiri. Guru mungkin bisa mengajar dengan keras agar siswanya mau duduk manis sambil mendengarkan mata pelajaran yang dibawakannya di depan kelas, tapi apakah itu sudah berarti proses pendidikan dengan baik?

Tentu itu tidak bisa menjadi ukuran, passion belajar harus diciptakan dari lingkungan terdekat dimana merkea berada. Sebuah lingkungan di keluarga menjadi factor penting dalam kesuksesan proses belajar. Maka dari itu penting sekali bagi orang tua untuk memiliki kedakatan, tidak hanya selayaknya orang tua dan anak, tetapi juga seperti hubungan sahabat, kakak beradik dan juga guru. Ini penting agar siswa memiliki pegangan dan dasar dalam mengambil keputusan. Banyak sekali siswa yang dalam kebingungan salah dalam mengambil keputusan, karena sandaran hidupnya justru adalah lingkungan yang salah.

Kedua hal di atas akan menjadi factor penentu suksesnya proses pendidikan di Indonesia. Bayangkan, dengan sistem pendidikan yang baik dan didukung factor eksternal yang baik, sungguh unas adalah salah satu hal yang menyenangkan dan ditunggu-tunggu siswa di setiap sekolah dan yang pasti kecurangan yang selama ini terjadi hanya akan tinggal sejarah!

Komentar